Senin, 28 November 2011

Pemeran


Kategori:Film
JenisAnak-anak & Keluarga
Cerita anak menjadi sebuah genre sastra yang sulit didefinisikan. Secara simple, Sugihastuti dalam buku Serba Serbi Cerita Anak, memahami cerita anak sebagai cerita untuk anak-anak walaupun dibuat oleh orang dewasa. Kenyataannya, pemahaman tersebut seringkali kabur mengingat banyaknya orang dewasa yang juga senang mengkonsumsi cerita anak. Namun posisi ini justru menjadi kelebihan bagi cerita anak. Dengan wilayah pembaca yang luas, tidak terbatas usia, cerita anak sangat memungkinkan menjadi best seller dari segi bisnis. Maka wajar apabila novel Harry Potter sangat fenomenal secara penjualan. Novel karya J,K Rowling ini laris dipasaran, bukan hanya oleh anak-anak tapi juga orang dewasa.
Demikian halnya dengan cerita anak yang dikemas dalam film. Cerita-cerita yang sebenarnya ditujukan untuk anak-anak seperti Mickey Mouse, Winnie the Pooh, Shrek, atau Petualangan Sherina, tidak diberi bandrol “untuk anak-anak” melainkan “untuk semua umur”. Artinya film tersebut bukan hanya dapat dinikmati oleh anak-anak, tapi juga remaja, mahasiswa, ibu-ibu, bapak-bapak, bahkan kakek-nenek. Hal ini pula mungkin yang menyebabkan film Charlie And The Chocolate Factor langsung meraih posisi puncak box office pada minggu-minggu awal diluncurkan. Bahkan dalam 4 minggu, film ini telah mengumpulkan pendapatan 169 juta dolar AS dan menggeser posisi Fantastic Four dan Batman.
Charlie And The Chocolate Factory merupakan sebuah film yang diangkat dari novel anak karya Roald Dahl, yaitu Charlie And The Chocolate Factory yang terbit tahun 1964. Sebelumnya novel ini sudah sempat difilmkan pada tahun 1971 dengan judul Willy Wonka And The Chocolate Factory. Roald Dahl menulis sendiri skenario filmnya. Dan 34 tahun berselang, Tim Burton, yang piawai dalam mengolah film-film fantasi seperti Beetlejuice, Batman, dan Edward Scissorhands, kembali mengangkat cerita ini dalam sebuah film dengan judul yang sama dengan novelnya, Charlie And The Chocolate Factory.
Mengangkat cerita fantasi anak-anak tentu bukan perkara yang mudah. Mentransformasikan teks ke dalam bentuk gambar membutuhkan interpretasi yang matang karena seringkali hasilnya mengecewakan. Film Harry Potter misalnya. Walaupun penjualannya tidak mengecewakan tetapi banyak pembaca novel tersebut yang kecewa, karena gambaran dalam film tidak seimajinatif novelnya. Cerita Charlie And The Chocolate Factory justru mempunyai tantangan yang lebih berat lagi. Pasalnya, beberapa pengajaran nilai dalam novel Dahl sudah tidak relevan diterapkan pada anak-anak masa kini. Sutradara akhirnya tidak hanya mentransformasikan cerita ini ke dalam bentuk visual, namun juga mengadaptasi cerita. Namun Tim Burton dengan penulis skenarionya, John August, berhasil mengangkat Charlie And The Chocolate Factory secara apik. Bukan hanya dari segi visual, tapi juga mengadaptasi cerita anak yang ditulis 41 tahun yang lalu, dalam konteks sosial anak-anak sekarang.
Charlie And The Chocolate Factory adalah film yang menceritakan tentang kehidupan seorang anak miskin bernama Charlie. Ia tinggal dekat dengan sebuah pabrik cokelat terbesar di dunia, Wonka’s Fcatory. Charlie adalah anak dari Mr. dan Mrs. Bucket. Selain tinggal dengan kedua orang tuanya, kedua pasangan kakek dan neneknya yaitu Grandpa Joe dan Grandma Josephine serta Grandpa George dan Grandma Georgina, juga tinggal di rumahnya yang tua dan reyot. Hampir setiap malam mereka hanya dapat memakan sup kubis dengan kuah yang banyak. Namun keluarga mereka sangat saling menyayangi. Seperti anak-anak lainnya, Charlie sangat menyukai cokelat. Namun kedua orang tuanya tidak mampu membelikan. Maka setiap kali melalui Wonka’s Factory, Charlie menaikkan hidungnya tinggi-tinggi agar dapat menghirup bau cokelat di udara. Wonka’s Factory adalah pabrik cokelat yang sangat misterius milik Mr. Willy Wonka. Selama beberapa t
Charlie and the Chocolate Factory Tickets
ahun tidak ada seorang pun masuk ke dalamnya, bahkan tak ada satu pun pekerja terlihat. Namun Wonka’s Chocolate terus berproduksi dan menjadi cokelat terlaris di seluruh dunia.
Hingga suatu hari Willy Wonka mengumumkan bahwa akan ada lima orang anak beruntung yang dapat melihat-lihat ke dalam pabriknya. Dan satu dari mereka akan mendapat hadiah kejutan. Caranya, mereka harus menemukan tiket emas yang disembunyikan dalam lima Wonka’s Chocolate secara acak. Charlie tentu saja sangat menginginkan, namun ia sadar bahwa kemungkinannya sangat kecil. Ia hanya mendapatkan cokelat setahun sekali yaitu pada saat ulang tahunnya.
Satu persatu tiket emas ditemukan. Pertama ditemukan oleh August Gloop, seorang anak yang sangat rakus. Tiket kedua didapatkan Veruca Salt, anak manja yang keinginannya selalu dituruti ayahnya. Kemudian Violet Beauregarde, juara lomba pengunyah permen karet yang sangat ambisius, dan Mike Teeve, yang merasa paling pintar dari yang lainnya, menemukan secara bersamaan. Dan tiket emas pun hanya tinggal satu lagi.
Charlie sendiri tidak beruntung ketika membuka bungkusan Wonka’s Chocolate, hadiah ulang tahunnya. Begitu pula ketika Grandpa Joe menyuruhnya membeli Wonka’s Chocolate dengan uang simpanannya. Hingga sebuah keajaiban terjadi.
Suatu hari, Charlie yang sedang kelaparan karena makanannya berkurang akibat ayahnya dipecat dari pekerjaan, menemukan uang yang terselip di timbunan salju. Tanpa berpikir panjang Charlie langsung menuju sebuah toko dan membeli Wonka’s Chocolate untuk mengisi perutnya. Tidak disangka ia menemukan tiket emas terakhir. Mendengar hal tersebut, Grandpa Joe langsung meloncat dan berteriak “Yippieee.!” saking gembiranya. Karena Mr. Wonka meminta setiap anak ditemani satu orang dewasa, keluarga Bucket sepakat memilih Grandpa Joe untuk menemani Charlie.
Di dalam pabrik tersebut, Charlie melihat keajaiban-keajaiban dalam pembuatan Wonka’s Chocolate. Mulai dari ruang cokelat, dimana terdapat lembah dengan air terjun pengaduk cokelat, pohon-pohon dan rumput permen yang bisa dimakan, dan sungai cokelat. Mereka juga diberitahu tentang Oompa-Loompa, manusia kecil yang didatangkan dari pulau Loompa untuk menjadi pekerja di Wonka’s Factory. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui sungai cokelat dengan perahu naga merah muda yang terbuat dari permen. Ruang berikutnya yaitu Ruang Penciptaan, tempat Mr. Wonka mengolah ciptaan terbarunya seperti Penyumpal Mulut Abadi dan Permen Rambut. Mr. Wonka juga menunjukkan mesin permen karet yang bisa membuat permen dengan rasa tiga macam makan malam. Selanjutnya Mr. Wonka memperlihatkan Ruang Kacang yang isinya tupai-tupai terlatih yang sedang mengupas kacang kenari. Dan yang terakhir adalah Ruang Cokelat Televisi, sebuah ruang percobaan untuk mengirim cokelat melalui televisi.
Tak disangka, hanya tinggal Charlie, anak yang tersisa. Keempat anak lainnya, gugur satu persatu dalam perjalanan karena tidak menaati aturan Willy Wonka. Dan sesuai janjinya Mr. Wonka pun memberikan hadiah kejutannya pada Charlie yaitu pabrik cokelat miliknya.
Alur cerita dalam film ini memang tidak jauh dengan novelnya. Namun ada bagian cerita yang digubah untuk beradaptasi dengan keadaan masyarakat saat ini.. Misalnya latar belakang Willy Wonka diceritakan melalui ingatan-ingatannya yang berkelebat ketika mengantar anak-anak tersebut tour di dalam pabrik cokelat. Willy Wonka yang dalam novelnya hanya seorang pemilik pabrik cokelat besar yang jenius, dalam film ini dikisahkan mempunyai pengalaman kecil yang buruk. Ia adalah seorang anak dokter gigi yang selalu dilarang memakan permen dan cokelat. Hingga akhirnya Wonka kecil memutuskan untuk pergi dari rumah dan menemukan bakatnya sebagai pembuat cokelat yang jenius. Tentu saja penambahan ini tidak sia-sia karena dengan demikian tokoh Willy Wonka tidak hanya menjadi permen dalam cerita. Tapi juga manusia yang mempunyai konflik kehidupan. Dengan menghilangkan sifat “peri” pada Willy Wonka, film ini tidak lagi sekedar fantasi yang mengumbar imajinasi tapi juga rasionalitas cerita.
Hal lain yang didaptasi yaitu gambaran pakaian Oompa-Loompa. Dalam novelnya Mr. Wonka mengatakan bahwa para Oompa-Loompa ngotot untuk terus memakai kulit rusa sebagai pakaiannya. Dalam film Oompa-Loompa memakai pakaian beraneka ragam di setiap ruangnya. Pakaian tersebut bahkan sangat futuristik sehingga sangat keluar dari imajinasi novel tersebut. Lagu-lagu yang dinyanyikan oompa-Loompa pun sangat bernuansa kekinian dengan bit-bit elektrik. Kesan “kuno” pada Oompa-Loompa yang sebenernya manusia cebol ini hilang. Keajaiban pabrik cokelat Willy Wonka pun tidak lagi terkesan magis, namun sebuah inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tokoh Mike Teeve yang dalam novelnya digambarkan sebagai pecandu televisi. Dalam film ini lebih digambarkan sebagai pecandu games dan anak yang merasa paling pintar. Ketika wartawan menemuinya karena ia mendapatkan tiket emas. Ia tidak sedang menonton televisi, tetapi bermain games sejenis Play Sation. Ia juga tidak lagi menenteng-nenteng pistol mainannya ketika mendatangi pabrik cokelat. Perubahan mainan milik Mike Teeve tentu saja merupakan usaha untuk mengadaptasi cerita Charlie And The Chocolate Factory ke dalam dunia anak masa kini. Akhirnya, Mike Teeve yang mengecil dalam televisi bukan lagi disebabkan karena ia gila televisi tetapi karakternya yang sok pintar sehingga tidak percaya dengan semua omongan Willy Wonka. Dengan demikian pula film ini tidak lagi menjudge televisi sebagai media perusak, tetapi lebih menekankan pada karakter yang merusak.
Perubahan pada ending cerita ini justru yang paling menarik. Charlie tidak langung begitu saja menerima hadiah Willy Wonka untuk menjadi penerus pabriknya. Karena Willy Wonka membenci ayahnya, ia tidak menginginkan kehadiran keluarga Charlie dalam pabriknya. Disinilah konflik nilai bermain, Charlie yang selalu susah dalam kehidupannya menghadapi dua pilihan yang sama-sama diinginkannya, menjadi penerus pabrik tersebut atau bersama keluarganya.
Charlie akhirnya lebih memilih keluarganya. Ayahnya mendapat pekerjaan lagi dan kehidupan mereka membaik walau tetap miskin. Willy Wonka menyadari betapa pentingnya keluarga dan ia pun hidup bersama keluarga Bucket. Walaupun akhirnya Charlie tetap menjadi penerus pabrik Willy Wonka. Namun film ini berhasil lepas dari cerita peruntungan dan keajaiban seperti dalam dongeng-dongeng lama, yang tentu saja sudah tidak cocok bagi perkembangan pola pikir anak di masyarakat modern.
Dari alur cerita film memang tidak menyodorkan klimaks cerita yang menakjubkan. Klimaks cerita justru hadir di awal film yaitu ketika perburuan tiket emas. Akhir cerita terkesan datar sehingga penonton tidak menemukan katarsis setelah menontonnya. Namun sebagai film yang diangkat dari cerita anak tahun 60-an, film ini berhasil melakukan adaptasi cerita dengan nilai-nilai masyarakat saat ini. Film ini akhirnya tidak lagi sekedar cerita yang menarik karena idenya fantastis tapi cerita anak yang cerdas.
Kalau dulu Roald Dahl sempat kurang senang dengan Willy Wonka And The Chocolate Factory. Sekarang ia bisa tersenyum puas dalam kuburnya, melihat Charlie And The Chocolate Factory garapan Tim Burton ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar